Dalam pertunjukan wayang golek Sunda istilah lakon Brajadenta Mbalelo
kurang begitu populer, sampai saat ini sebagai bukti minimnya dokumentasi baik
audio maupun audio visual tentang Brajadenta Mbalelo, masih minimnya suber
acuan para dalang sebagai referensi lakon sehingga lakon tersebut jarang
dipentaskan. Manun nama lain lakon yang mengisahkan tentang Brajadenta Mbalelo
adalah sama pada lakon "Panca Braja Nitis" dimana isi cerita
merupakan proses inisiasi pendewasaan tokoh Gatutkaca dengan cara uji penempaan
kekuatan lima tokoh ( Panca Braja yaitu Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan,
Brajawikalpa dan Brajawisesa). Adapun kisah ini pada garis besarnya dapat
dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan antara satu sama yang lainnya.
Diantaranya bagian pertama sebagai sebab, kedua sebagai akibat, dan ketiga
sebagai upaya penyelesaiannya.
Bagian pertama 'kisah Arimbi Ngadeg Ratu"
Jelajah sekilas tentang makna lakon yang diketengahkan lewat tokoh-tokoh diantaranya
Arimbi, Bima, dan Brajadenta tentu jauh dari lengkap, tetapi sebuah upaya
"menggali" tak ada salahnya untuk menjadi sebuah "wawasan"
yang mungkin terselubung atau mulai memudar dan kini giliran untuk
'ditemukan" kembali.
Setelah meninggalnya Tremboko oleh Pandudewanata, Tahta kerajaan
Pringgadani di duduki oleh Arimbi sebagai anak tertua Tremboko yang menaruh
dendam pada keturunan Pandu. Lalu dalam perjalanannya Arimba pun mendapat nasip
yang sama binasa oleh Bima (Lakon Babad Wanamarta), sehingga tahta kerajaan
Pringgadani jatuh pada Arimbi adik Arimba. Dari sini cerita mulai ada
pembelokan sistem, dimana Arimbi bersebrangan dengan Arimba dengan tidak
menaruh dendam pada Bima yang membuat kematian kakaknya tetapi malah Arimbi
balik mencintai Bima.
Atas dasar apakah sehingga Arimbi mencintai Bima? pertama dari segi fisik
dapat ditapsirkan bahwa Arimbi seorang raksesi yang bertubuh besar sehingga
Arimbi sulit untuk mencari pasangan yang serasi selain Bima yang berbadan
tinggi besar dan kekar. kedua sebagai pilihan ideal mencintai seorang manusia
besar yang selalu berusaha menegakkan kebenaran artinya berjiwa kesatria.
Ketiga Arimbi mulai menekuni sosok manusia sakti artinya tampak bahwa Arimbi
mulai berpaling pada kebenaran (simbol Bima) untuk meninggalkan kejahatan
(simbol Arimba).
Arimbi yang telah jatuh hati dan dilandasi dengan rasa cinta yang tulus
meminta dinikah oleh Bima (bandingkan dengan versi Ramayana, Tokoh Sarpakanaka
yang mengemis cinta pada Laksmana). Karuan Bima menolak dengan alasan fisik
Arimbi seorang raksesi yang nota bene identik dengan kejahatan. Artinya disini
ada keraguan dari Bima untuk menerima kehadiran Arimbi, namun keraguan tersebut
dapat dipatahkan oleh ibunya Dewi Kunti. Dewi Kunti yang mengetahui esensi
seorang wanita luhur tingkat spiritualnya. Dewi Kunti mempunyai kemanjuran gaib
ketika berkata "Arimbi adalah kau putri ayu nan cantik jelita" maka
seketika atas kehendak Yang Maha Kuasa Arimbi berubah wujud menjadi putri
cantik jelita. Dewi Kunti saciduh metu sakecap artinya ada simbol kepekaan
spiritual yang manjur sebagai upaya ritual ngaruwat wujud dewi Arimbi.
Masuk akal, kenapa kerajaan Pringandani tampak kepemimpinannya jatuh pada
Dewi Arimbi, bukan pada saudaranya (Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa
atau Brajawisesa) Karena antara Arimbi dan Panca Braja beda, mereka tidak
mempunyai "kesejatian" sementara Arimbi mempunyai
"kesejatian" jadi yang utama adalah karena "kesejatian",
yakni karena "kabinangkitannya" kerja kerasnya (memiliki berbagai
kemampuan), bukan faktor lain.
Kisah ini mempunyai nilai dan makna selaku proses laku darma Arimbi yang
didukung adiknya Prabakesa dan Kalabendana, mulai memutuskan rantai kejahatan
dari saudara-saudaranya di antaranya Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan,
Brajawikalpa dan Brajawisesa (Panca braja, sebagai simbol kelompok kejahatan).
Arimbi setelah melewati Brajawisesa (Panca Braja, sebagai simbol kelompok
kejahatan). Arimbi setelah melewati proses ritual akhirnya dinikahkan dengan
Bima, Artinya setelah ada proses perubahan-perubahan dari rupa jelek menjadi
baik itu tandanya mulai dapat menyatu dengan kebaikan sehingga terjadi suasana
harmonis. (bandingkan dengan konsep koalisi berbagai partai politik). Arimbi
dinobatkan sebagai Ratu Pringgandani. Perjalanan Ritual Arimbi adalah sebuah
keharusan supaya ia sampai pada sebuah sikap, pada sebuah
"pencerahan" dipertemukan dengan pasangannya Bima, tadinya berlawanan
(raksesi dan manusia) tetapi berpasangan adalah sebuah konsep harmoni. Harmoni
ini harus tetap dijaga, dapat melalui ritus, dapat melalui pola-pola dramatik
sebagaimana dalam pola adegan lakon wayang. Sehingga keseimbangan dapat
tercipta, baik keseimbangan lahir maupun keseimbangan batin atau disebut
"kesejatian".
Bagian kedua "Brajadento Mbalelo"
Brajadenta mulai menunjukan tabiat ketidak harmonisan, dengan sikap arogan
dan tabiat yang tidak baik selalu menaruh dendam pada keturunan Pandu yaitu
Bima, yang mengakibatkan kematian Tremboko dan Arimba. Ditambah lagi suasana
semakin memanas tatkala Arimbi menikah dengan Bima, bukankah Bima yang menjadi
musuh dirinya? Dan juga akhirnya Arimbi dinobatkan menjadi ratu di Pringgandani
mengganti Arimba.
Brajadenta yang dibantu oleh adik-adiknya diantaranya: Brajamusti,
Brajalambatan, Brajawikalpa dan Brajawisesa) selalu berupaya membuat suasana
kerajaan tidak harmonis, ada usaha sebagai gerakan anti pemerintahan Arimbi.
Wilayah Glagahtinunu berusaha untuk memisahkan diri dari Pringgandani, adanya
upaya disentegrasi dari teroterial Pringgandani dengan tinbulnya gerakan
separatis Glagahtinunu. Golongan Brajadenta berupaya mencari keuntungan dengan
cara memecah belah suku dan bangsa Pringgandani. Brajadenta dibantu pihak asing
yaitu kelompok Durga (Gedeng Permoni) dari Setra Gandamayit, dan Kurawa dari
Astina. Mereka Adalah selaku interpensi asing yang ikut mencari keuntungan
dengan cara menyebarkan paham imperialisme yaitui suatu sistem politik untuk
mencari kekuasaan di negeri orang dan mengeruk keuntungan dengan menghalalkan
segala cara.
Masuk akan pula, kenapa Brajadenta meskipun berusaha mati-matian meneror
Pringandani untuk mengalahkan Arimbi, Arimbi selalu tampil sebagai pewaris
"kesejatian". Memang tidak mungkin melawan orang yang memiliki
berbagai kemampuan, apalagi dengan cara-cara yang licik dan menghalalkan segala
cara.
Rupanya cerita wayang lewat lakon Brajadenta Mbalelo telah mewariskan pada
kita sebuah perjalanan panjang seorang petualang entah itu Bima, Arimbi dan
Brajadenta yang masing-masing mempunyai jalan yang berbeda.
Bagian Ketiga "Kisah Gatutkaca Winisuda"
Kisah ini adalah dianggap sebagai upaya penyelesaian permasalahan, artinya
sebagai upaya pemutusan rantai ablis kejahatan. Arimbi melahirkan Gathutkaca
adalah sebuah proses munculnya regenerasi baru menuju tatanan yang lebih
sempurna, karena melewati perjalanan yang penuh tantangan, rintangan dll (lihat
kisah Jabang Tutuka). Gathutkaca adalah tokoh pahlawan yang harismatik, tokoh
pemimpin yang dicintai rakyatnya, seorang patriot, pembela kebenaran dan
menjadi pahlawan kebajikan, dengan segudang prestasi (kiranya figur Gathutkaca
tidak perlu diungkapkan lagi karena hal ini sudah mendarah daging sipat tabiat
dan kebaikan Gathutkaca sebagai simbol kebaikan).
Nanun hal yang paling penting adalah lahirnya Gathutkaca menjadi seorang
yang bijak dan baik budinya itu adalah proses panjang yang ditanamkan sejak
mulai adanya ikatan antara Arimbi dan Bima. Hal ini adalah simbol dari
kesuksesan dalam membina rumahtangga, atas dasar keiklasan dan kecintaan yang
tumbuh menunjukkan "kesejatian" maka akan melahirkan kebajikan. Jadi
jelas kebaikan akan melahirkan kebajikan, dan kejahatan akan melahirkan
kejahatan, kecuali dengan kesabaran dan kebaikan itu sendiri yang akan
memutuskan rantai pengikat kejahatan.
Hal itu dapat dibuktikan dalam kisah ini, bahwa tatkala Brajadenta
mendengar bahwa Arimbi akan mewariskan tahtanya pada putranya Gathutkaca, maka
seketika Brajadenta memuncak emosinya untuk membunuh Gathutkaca dan merebut
tahta Pringgandani. Brajadenta dengan segala kekuatan dan bantuan saudaranya
yang seirama, dan bantuan pihak asing berupaya menggagalkan usaha penobatan
Gatutkaca menjadi raja Pringgandani.
Masuk akal pula, kenapa Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa
dan Brajawisesa berusaha membunuh Gathutkaca? karena faktor dendam pada
keturunan Bima. Artinya rantai iblis yang memperkokoh kejahatan ini terus
mengalir sebelum dapat diputuskan. Siapa yang dapat memutuskan rantai Iblis
demi kejahatan ini? Jawabannya hanyalah oleh manusia-manusia sakti, artinya
sakti lahirnya sakti batinnya, yang selalu dalam keimanan, soleh dan selalu
saling berwasiat dalam kesabaran. Manusia yang manggapulia, yang mampu
mengatasi masalahnya.
Maka Brajadenta dalam menghadapi Gathutkaca akhirnya menerima kekalahan.
Brajadenta akhirnya takluk dan ingin menyatu dalam tubuh Gathutkaca untuk
membangun suatu kekuatan (sebagai ajimat). Brajadenta masuk pada tangan kanan,
disusul oleh kekalahan saudaranya yang lain maka mereka sepakat untuk manunggal
dalam tubuh Gathutkaca, Brajamusti pada tangan kiri, Brajalambatan pada kaki
kanan, Braja Wikalpa pada kaki kiri, dan Brajawisesa pada gigi Gathutkaca.
peristiwa ini adalah sebuah ritual pemberdayaan kekuatan, penggemblengan mental
spiritual seseorang dalam berbagai dimensi sebagi simbol-simbol kekuatan.
Proses remaja menuju pendewasaan, dan orang dewasa semakin bijak. Tangan, kaki
dan gigi adalah piranti pendewasaan, dan orang dewasa semakin bijak. Tangan,
kaki dan gigi adalah piranti manusia sebagai sarana untuk menggerakkan kekuatan
fisik (gerak).
Panca Braja menyatu dalam tubuh Gathutkaca, dengan proses penyempurnaan
secara lahir dan batin dalam diri Gathutkaca dengan kekuatan ilmunya,
kesabaran, melawan napsunya. Panca Braja (5 kekuatan) sehingga dapat
dikendalikan dengan bukti bahwa Panca Braja yang tadinya beritikad jahat
setelah mengalami proses perlawanan dengan kekuatan lahir dan batin, dengan
kesabaran akhirnya berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi
kekuatan Gathutkaca. Ini adalah sibol persatuan dan kekuatan yang manunggal,
yang selaras akan menjadi sesuatu yang sangat kuat. Kita yakin sebesar-besarnya
keangkaramurkaan pasti bakal binasa oleh kebaikan. Mungkin kita ingat akan
amanah pujangga Sunda R. Memed Sastrahadiprawira
"sabedas-bedasna angkara awal akhir bakal lumpuh ku daya palamarta,
sarongkah-rongkahna nu murka isuk pageto bakal leeh ku perbawa legawa,
sabuni-bunina perdaya moal teu ebreh ku wiwaha balaka, kaadilan nu
diperkosa
ku kakawasaan baring supagi baris ngajadi siksaan, mungguh jalma nu teu
bener
najan pinter hirupna pasti tipater. Cindekna jelema rendah budina dipunjung
memeh keur nanjung geus apes tumpes sapisan.
Rupanya tokoh Gathutkaca menjadi seorang negarawan, raja Pringgadani
sesungguhnya telah mendudukan manusia pada posisi yang utama karena "kesejatiannya"
yakni karena kemampuan ilmunya yang tinggi (memiliki berbagai kemampuan) hasil
perih dalam kesabaran mengahadapi berbagai rintangan dan ujian hidup bukan
karena faktor lain. Menyatunya Panca Braja dalam tubuh Gathutkaca disertai
keiklasan dan saling menjaga, tidak saling curiga, berbeda namun bersatu
menjunjung titah. Panca Braja terus bersatu mengabdi sampai akhir hayat
Gathutkaca.
Mengapa Lakon "Brajadento Mbalelo Penting Dikedepankan?
Alasan Pertama
Kesadaran akan warisan arkais artinya hubungan dengan masa lalu adalah
merupakan kesadaran yang harus dipupuk guna mampu menjadi interpreter
(penapsir) bagi masa depan, yang sesungguhnya antara dunia pewayangan dan masa
depan kita terdapat suatu domain (wilayah) yang disebut proses transpormasi
budaya.
Alasan kedua
Lakon wayang Brajadento Mbalelo sebagai lakon arkais yang lahir dari
kandungan cerita pewayangan dan pedalangan, mengandung sejumlah nilai dalam
sistem makna yang dapat ditransformasikan kembali dan bahkan dapat
diaktualisasikan ke dalam kontekstual masa kini.
Alasan ketiga
Sistem makna lakon Brajadento Mbalelo dalam pedalangan bermacam-macam versi
(sesuai dengan local genius) baik dalam pergelaran wayang golek Sunda maupun
wayang kulit Jawa manapun juga. Di Sunda terdapat di Bogor, Sukabumi, Bandung,
Sumedang dll
Alasan keempat
Lakon Brajadento Mbalelo (Panca Braja Nitis) menghadirkan sejumlah
gambaran, antara lain:
1. Memahami imago mundi (gambaran dunia) yang dihadirkan di jagat pentas
dalam cerita wayang, adanya kayon sebagai simbolnya berdasar pada mitologi
purba bangsa-bangsa di dunia, yakni pandangan tiga dunia (buana nyuncung, Buana
Panca Tengah, Buana larang) buana nyuncung adalah langit dan penghuninya
mahluk-makhluk langit yang sering digambarkan memiliki intelektual tinggi dll
(lambang supremasi tertinggi, Dewa). Buana Panca Tengah adalah dunia yang
dihuni manusia, buana larang adalah dunia mahluk-mahluk sebangsa prajineman,
siluman dll.
2. Memahami sikap dan prilaku yang bijak dari dasawarsa sifat manusia, bahwa
manusia itu berpasang-pasangan, meskipun berlawanan. Contoh siang-malam,
laki-perempuan, baik-buruk, jahat-mulia. Kebaikan diwakili oleh daya juang
Bima, Dewi Arimbi, Gatutkaca. Dan kejahatan diwakili oleh Arimba, Brajadento
dkk. Pada sebuah pencerahan berpasangan adalah konsep harmoni.
3. Memahami sikap dan kesadaran fitrah manusia yang sesungguhnya tidaklah
benar bersikap seadanya, tetapi mengacu pada ungkapan "singer" (dapat
bekerja keras, proaktif, cepat, tampil, berjuang dan penuh kesabaran, tidak
menunggu perintah) dan "perceka" (pintar bisa mengatur, penuh gagasan
aktif dan bisa bicara, banyak pengetahuan, banyak kemampuan) diwakili oleh
karakter Dewi Arimbi dan Gathutkaca.
4. Banyak cara untuk memperkenalkan lakon-lakon yang bijak ini melalui
berbagai cara yang aktual, salah satunya dikemas dalam garap pakeliran (baik
wayang golek maupun wayang kulit).
Penutup
Dalam hal ini tidak salah kalau kita sewaktu-waktu bercermin pada lakon
tersebut tampaknya masih perlu untuk kita aktualisasikan terus, jadi apabila
kita bertanya masih relewankan, jawabannya "ya" sangat relevan bagi
kita masa kini dalam menetap hari esok nan gemilang, kita rindu figur-figur
kesatria yang penuh "kesejatian" untuk memimpin bangsa ini. Tanpa
sebuah "kabinangkitan" proses perjuangan, kesabaran, ketulusan, dan
penuh rasa ke-Illahian rasanya tak mungkin meraih sosok
pemimpin sebagai panutan masa kini.
Maka peran "kesejatian" sebagai perwujutan akan jatidiri yang
sejati harus terus digulirkan tanpa kehilangan "kepribadian"nya
sebagai seorang Indonesia dari kultur manapun, Apalagi dari Kultur Sunda
"Panca Braja Nitis" versi Sunda adalah proses mewariskan
"kesejatian" manusai Sunda yang silih asah, asih, asuh". Dengan
jalan menjadi manusia yang "binangkit dan manggapulia" tentu termasuk
kepandaian menguasai segala hal di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar