Senin, 06 Januari 2014

Lakon Brajadenta Mbalelo (Panca Braja Nitis)



Dalam pertunjukan wayang golek Sunda istilah lakon Brajadenta Mbalelo kurang begitu populer, sampai saat ini sebagai bukti minimnya dokumentasi baik audio maupun audio visual tentang Brajadenta Mbalelo, masih minimnya suber acuan para dalang sebagai referensi lakon sehingga lakon tersebut jarang dipentaskan. Manun nama lain lakon yang mengisahkan tentang Brajadenta Mbalelo adalah sama pada lakon "Panca Braja Nitis" dimana isi cerita merupakan proses inisiasi pendewasaan tokoh Gatutkaca dengan cara uji penempaan kekuatan lima tokoh ( Panca Braja yaitu Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa dan Brajawisesa). Adapun kisah ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan antara satu sama yang lainnya. Diantaranya bagian pertama sebagai sebab, kedua sebagai akibat, dan ketiga sebagai upaya penyelesaiannya.

Bagian pertama 'kisah Arimbi Ngadeg Ratu"

Jelajah sekilas tentang makna lakon yang diketengahkan lewat tokoh-tokoh diantaranya Arimbi, Bima, dan Brajadenta tentu jauh dari lengkap, tetapi sebuah upaya "menggali" tak ada salahnya untuk menjadi sebuah "wawasan" yang mungkin terselubung atau mulai memudar dan kini giliran untuk 'ditemukan" kembali.

Setelah meninggalnya Tremboko oleh Pandudewanata, Tahta kerajaan Pringgadani di duduki oleh Arimbi sebagai anak tertua Tremboko yang menaruh dendam pada keturunan Pandu. Lalu dalam perjalanannya Arimba pun mendapat nasip yang sama binasa oleh Bima (Lakon Babad Wanamarta), sehingga tahta kerajaan Pringgadani jatuh pada Arimbi adik Arimba. Dari sini cerita mulai ada pembelokan sistem, dimana Arimbi bersebrangan dengan Arimba dengan tidak menaruh dendam pada Bima yang membuat kematian kakaknya tetapi malah Arimbi balik mencintai Bima.

Atas dasar apakah sehingga Arimbi mencintai Bima? pertama dari segi fisik dapat ditapsirkan bahwa Arimbi seorang raksesi yang bertubuh besar sehingga Arimbi sulit untuk mencari pasangan yang serasi selain Bima yang berbadan tinggi besar dan kekar. kedua sebagai pilihan ideal mencintai seorang manusia besar yang selalu berusaha menegakkan kebenaran artinya berjiwa kesatria. Ketiga Arimbi mulai menekuni sosok manusia sakti artinya tampak bahwa Arimbi mulai berpaling pada kebenaran (simbol Bima) untuk meninggalkan kejahatan (simbol Arimba).

Arimbi yang telah jatuh hati dan dilandasi dengan rasa cinta yang tulus meminta dinikah oleh Bima (bandingkan dengan versi Ramayana, Tokoh Sarpakanaka yang mengemis cinta pada Laksmana). Karuan Bima menolak dengan alasan fisik Arimbi seorang raksesi yang nota bene identik dengan kejahatan. Artinya disini ada keraguan dari Bima untuk menerima kehadiran Arimbi, namun keraguan tersebut dapat dipatahkan oleh ibunya Dewi Kunti. Dewi Kunti yang mengetahui esensi seorang wanita luhur tingkat spiritualnya. Dewi Kunti mempunyai kemanjuran gaib ketika berkata "Arimbi adalah kau putri ayu nan cantik jelita" maka seketika atas kehendak Yang Maha Kuasa Arimbi berubah wujud menjadi putri cantik jelita. Dewi Kunti saciduh metu sakecap artinya ada simbol kepekaan spiritual yang manjur sebagai upaya ritual ngaruwat wujud dewi Arimbi.

Masuk akal, kenapa kerajaan Pringandani tampak kepemimpinannya jatuh pada Dewi Arimbi, bukan pada saudaranya (Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa atau Brajawisesa) Karena antara Arimbi dan Panca Braja beda, mereka tidak mempunyai "kesejatian" sementara Arimbi mempunyai "kesejatian" jadi yang utama adalah karena "kesejatian", yakni karena "kabinangkitannya" kerja kerasnya (memiliki berbagai kemampuan), bukan faktor lain.

Kisah ini mempunyai nilai dan makna selaku proses laku darma Arimbi yang didukung adiknya Prabakesa dan Kalabendana, mulai memutuskan rantai kejahatan dari saudara-saudaranya di antaranya Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa dan Brajawisesa (Panca braja, sebagai simbol kelompok kejahatan). Arimbi setelah melewati Brajawisesa (Panca Braja, sebagai simbol kelompok kejahatan). Arimbi setelah melewati proses ritual akhirnya dinikahkan dengan Bima, Artinya setelah ada proses perubahan-perubahan dari rupa jelek menjadi baik itu tandanya mulai dapat menyatu dengan kebaikan sehingga terjadi suasana harmonis. (bandingkan dengan konsep koalisi berbagai partai politik). Arimbi dinobatkan sebagai Ratu Pringgandani. Perjalanan Ritual Arimbi adalah sebuah keharusan supaya ia sampai pada sebuah sikap, pada sebuah "pencerahan" dipertemukan dengan pasangannya Bima, tadinya berlawanan (raksesi dan manusia) tetapi berpasangan adalah sebuah konsep harmoni. Harmoni ini harus tetap dijaga, dapat melalui ritus, dapat melalui pola-pola dramatik sebagaimana dalam pola adegan lakon wayang. Sehingga keseimbangan dapat tercipta, baik keseimbangan lahir maupun keseimbangan batin atau disebut "kesejatian".

Bagian kedua "Brajadento Mbalelo"

Brajadenta mulai menunjukan tabiat ketidak harmonisan, dengan sikap arogan dan tabiat yang tidak baik selalu menaruh dendam pada keturunan Pandu yaitu Bima, yang mengakibatkan kematian Tremboko dan Arimba. Ditambah lagi suasana semakin memanas tatkala Arimbi menikah dengan Bima, bukankah Bima yang menjadi musuh dirinya? Dan juga akhirnya Arimbi dinobatkan menjadi ratu di Pringgandani mengganti Arimba.

Brajadenta yang dibantu oleh adik-adiknya diantaranya: Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa dan Brajawisesa) selalu berupaya membuat suasana kerajaan tidak harmonis, ada usaha sebagai gerakan anti pemerintahan Arimbi. Wilayah Glagahtinunu berusaha untuk memisahkan diri dari Pringgandani, adanya upaya disentegrasi dari teroterial Pringgandani dengan tinbulnya gerakan separatis Glagahtinunu. Golongan Brajadenta berupaya mencari keuntungan dengan cara memecah belah suku dan bangsa Pringgandani. Brajadenta dibantu pihak asing yaitu kelompok Durga (Gedeng Permoni) dari Setra Gandamayit, dan Kurawa dari Astina. Mereka Adalah selaku interpensi asing yang ikut mencari keuntungan dengan cara menyebarkan paham imperialisme yaitui suatu sistem politik untuk mencari kekuasaan di negeri orang dan mengeruk keuntungan dengan menghalalkan segala cara.

Masuk akan pula, kenapa Brajadenta meskipun berusaha mati-matian meneror Pringandani untuk mengalahkan Arimbi, Arimbi selalu tampil sebagai pewaris "kesejatian". Memang tidak mungkin melawan orang yang memiliki berbagai kemampuan, apalagi dengan cara-cara yang licik dan menghalalkan segala cara.

Rupanya cerita wayang lewat lakon Brajadenta Mbalelo telah mewariskan pada kita sebuah perjalanan panjang seorang petualang entah itu Bima, Arimbi dan Brajadenta yang masing-masing mempunyai jalan yang berbeda.

Bagian Ketiga "Kisah Gatutkaca Winisuda"

Kisah ini adalah dianggap sebagai upaya penyelesaian permasalahan, artinya sebagai upaya pemutusan rantai ablis kejahatan. Arimbi melahirkan Gathutkaca adalah sebuah proses munculnya regenerasi baru menuju tatanan yang lebih sempurna, karena melewati perjalanan yang penuh tantangan, rintangan dll (lihat kisah Jabang Tutuka). Gathutkaca adalah tokoh pahlawan yang harismatik, tokoh pemimpin yang dicintai rakyatnya, seorang patriot, pembela kebenaran dan menjadi pahlawan kebajikan, dengan segudang prestasi (kiranya figur Gathutkaca tidak perlu diungkapkan lagi karena hal ini sudah mendarah daging sipat tabiat dan kebaikan Gathutkaca sebagai simbol kebaikan).

Nanun hal yang paling penting adalah lahirnya Gathutkaca menjadi seorang yang bijak dan baik budinya itu adalah proses panjang yang ditanamkan sejak mulai adanya ikatan antara Arimbi dan Bima. Hal ini adalah simbol dari kesuksesan dalam membina rumahtangga, atas dasar keiklasan dan kecintaan yang tumbuh menunjukkan "kesejatian" maka akan melahirkan kebajikan. Jadi jelas kebaikan akan melahirkan kebajikan, dan kejahatan akan melahirkan kejahatan, kecuali dengan kesabaran dan kebaikan itu sendiri yang akan memutuskan rantai pengikat kejahatan.

Hal itu dapat dibuktikan dalam kisah ini, bahwa tatkala Brajadenta mendengar bahwa Arimbi akan mewariskan tahtanya pada putranya Gathutkaca, maka seketika Brajadenta memuncak emosinya untuk membunuh Gathutkaca dan merebut tahta Pringgandani. Brajadenta dengan segala kekuatan dan bantuan saudaranya yang seirama, dan bantuan pihak asing berupaya menggagalkan usaha penobatan Gatutkaca menjadi raja Pringgandani.

Masuk akal pula, kenapa Brajadenta, Brajamusti, Brajalambatan, Brajawikalpa dan Brajawisesa berusaha membunuh Gathutkaca? karena faktor dendam pada keturunan Bima. Artinya rantai iblis yang memperkokoh kejahatan ini terus mengalir sebelum dapat diputuskan. Siapa yang dapat memutuskan rantai Iblis demi kejahatan ini? Jawabannya hanyalah oleh manusia-manusia sakti, artinya sakti lahirnya sakti batinnya, yang selalu dalam keimanan, soleh dan selalu saling berwasiat dalam kesabaran. Manusia yang manggapulia, yang mampu mengatasi masalahnya.

Maka Brajadenta dalam menghadapi Gathutkaca akhirnya menerima kekalahan. Brajadenta akhirnya takluk dan ingin menyatu dalam tubuh Gathutkaca untuk membangun suatu kekuatan (sebagai ajimat). Brajadenta masuk pada tangan kanan, disusul oleh kekalahan saudaranya yang lain maka mereka sepakat untuk manunggal dalam tubuh Gathutkaca, Brajamusti pada tangan kiri, Brajalambatan pada kaki kanan, Braja Wikalpa pada kaki kiri, dan Brajawisesa pada gigi Gathutkaca. peristiwa ini adalah sebuah ritual pemberdayaan kekuatan, penggemblengan mental spiritual seseorang dalam berbagai dimensi sebagi simbol-simbol kekuatan. Proses remaja menuju pendewasaan, dan orang dewasa semakin bijak. Tangan, kaki dan gigi adalah piranti pendewasaan, dan orang dewasa semakin bijak. Tangan, kaki dan gigi adalah piranti manusia sebagai sarana untuk menggerakkan kekuatan fisik (gerak).

Panca Braja menyatu dalam tubuh Gathutkaca, dengan proses penyempurnaan secara lahir dan batin dalam diri Gathutkaca dengan kekuatan ilmunya, kesabaran, melawan napsunya. Panca Braja (5 kekuatan) sehingga dapat dikendalikan dengan bukti bahwa Panca Braja yang tadinya beritikad jahat setelah mengalami proses perlawanan dengan kekuatan lahir dan batin, dengan kesabaran akhirnya berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi kekuatan Gathutkaca. Ini adalah sibol persatuan dan kekuatan yang manunggal, yang selaras akan menjadi sesuatu yang sangat kuat. Kita yakin sebesar-besarnya keangkaramurkaan pasti bakal binasa oleh kebaikan. Mungkin kita ingat akan amanah pujangga Sunda R. Memed Sastrahadiprawira

"sabedas-bedasna angkara awal akhir bakal lumpuh ku daya palamarta,
sarongkah-rongkahna nu murka isuk pageto bakal leeh ku perbawa legawa,
sabuni-bunina perdaya moal teu ebreh ku wiwaha balaka, kaadilan nu diperkosa
ku kakawasaan baring supagi baris ngajadi siksaan, mungguh jalma nu teu bener
najan pinter hirupna pasti tipater. Cindekna jelema rendah budina dipunjung
memeh keur nanjung geus apes tumpes sapisan.

Rupanya tokoh Gathutkaca menjadi seorang negarawan, raja Pringgadani sesungguhnya telah mendudukan manusia pada posisi yang utama karena "kesejatiannya" yakni karena kemampuan ilmunya yang tinggi (memiliki berbagai kemampuan) hasil perih dalam kesabaran mengahadapi berbagai rintangan dan ujian hidup bukan karena faktor lain. Menyatunya Panca Braja dalam tubuh Gathutkaca disertai keiklasan dan saling menjaga, tidak saling curiga, berbeda namun bersatu menjunjung titah. Panca Braja terus bersatu mengabdi sampai akhir hayat Gathutkaca.

Mengapa Lakon "Brajadento Mbalelo Penting Dikedepankan?

Alasan Pertama
Kesadaran akan warisan arkais artinya hubungan dengan masa lalu adalah merupakan kesadaran yang harus dipupuk guna mampu menjadi interpreter (penapsir) bagi masa depan, yang sesungguhnya antara dunia pewayangan dan masa depan kita terdapat suatu domain (wilayah) yang disebut proses transpormasi budaya.

Alasan kedua
Lakon wayang Brajadento Mbalelo sebagai lakon arkais yang lahir dari kandungan cerita pewayangan dan pedalangan, mengandung sejumlah nilai dalam sistem makna yang dapat ditransformasikan kembali dan bahkan dapat diaktualisasikan ke dalam kontekstual masa kini.

Alasan ketiga
Sistem makna lakon Brajadento Mbalelo dalam pedalangan bermacam-macam versi (sesuai dengan local genius) baik dalam pergelaran wayang golek Sunda maupun wayang kulit Jawa manapun juga. Di Sunda terdapat di Bogor, Sukabumi, Bandung, Sumedang dll

Alasan keempat
Lakon Brajadento Mbalelo (Panca Braja Nitis) menghadirkan sejumlah gambaran, antara lain:

1. Memahami imago mundi (gambaran dunia) yang dihadirkan di jagat pentas dalam cerita wayang, adanya kayon sebagai simbolnya berdasar pada mitologi purba bangsa-bangsa di dunia, yakni pandangan tiga dunia (buana nyuncung, Buana Panca Tengah, Buana larang) buana nyuncung adalah langit dan penghuninya mahluk-makhluk langit yang sering digambarkan memiliki intelektual tinggi dll (lambang supremasi tertinggi, Dewa). Buana Panca Tengah adalah dunia yang dihuni manusia, buana larang adalah dunia mahluk-mahluk sebangsa prajineman, siluman dll.

2. Memahami sikap dan prilaku yang bijak dari dasawarsa sifat manusia, bahwa manusia itu berpasang-pasangan, meskipun berlawanan. Contoh siang-malam, laki-perempuan, baik-buruk, jahat-mulia. Kebaikan diwakili oleh daya juang Bima, Dewi Arimbi, Gatutkaca. Dan kejahatan diwakili oleh Arimba, Brajadento dkk. Pada sebuah pencerahan berpasangan adalah konsep harmoni.

3. Memahami sikap dan kesadaran fitrah manusia yang sesungguhnya tidaklah benar bersikap seadanya, tetapi mengacu pada ungkapan "singer" (dapat bekerja keras, proaktif, cepat, tampil, berjuang dan penuh kesabaran, tidak menunggu perintah) dan "perceka" (pintar bisa mengatur, penuh gagasan aktif dan bisa bicara, banyak pengetahuan, banyak kemampuan) diwakili oleh karakter Dewi Arimbi dan Gathutkaca.

4. Banyak cara untuk memperkenalkan lakon-lakon yang bijak ini melalui berbagai cara yang aktual, salah satunya dikemas dalam garap pakeliran (baik wayang golek maupun wayang kulit).

Penutup
Dalam hal ini tidak salah kalau kita sewaktu-waktu bercermin pada lakon tersebut tampaknya masih perlu untuk kita aktualisasikan terus, jadi apabila kita bertanya masih relewankan, jawabannya "ya" sangat relevan bagi kita masa kini dalam menetap hari esok nan gemilang, kita rindu figur-figur kesatria yang penuh "kesejatian" untuk memimpin bangsa ini. Tanpa sebuah "kabinangkitan" proses perjuangan, kesabaran, ketulusan, dan penuh rasa ke-Illahian rasanya tak mungkin meraih sosok
pemimpin sebagai panutan masa kini.

Maka peran "kesejatian" sebagai perwujutan akan jatidiri yang sejati harus terus digulirkan tanpa kehilangan "kepribadian"nya sebagai seorang Indonesia dari kultur manapun, Apalagi dari Kultur Sunda "Panca Braja Nitis" versi Sunda adalah proses mewariskan "kesejatian" manusai Sunda yang silih asah, asih, asuh". Dengan jalan menjadi manusia yang "binangkit dan manggapulia" tentu termasuk kepandaian menguasai segala hal di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar